Kamis, 01 Oktober 2015

Inspirasiku dalam Menulis

By Asep Reno

Agatha Christie, penulis novel fiksi criminal Inggris. Beliau telah menulis lebih dari 80 novel dan sandiwara teater yang berisikan kisah detektif dan misteri.[1] Buku-bukunya sangat fenomenal dan diterjemahkan lebih dari 2 miliar buku di seluruh dunia. Beliau adalah penulis dengan karyanya paling laku sepanjang sejarah.[2]

Saya terinspirasi menulis buku lebih tepatnya sebuah novel dari Beliau. Saya ingin sekali menjadi manusia yang bisa produktif dalam menulis sebuah buku hingga akhir hayat sekali. Dimulai dari sebuah tulisan ini semoga saja akan berlanjut sampai kematian menjemput.

Bukan hanya beliau saja inspirasiku. Imam Nawawi, beliaulah namanya. Penulis karya Riyadhus Salihin, Arba’in An-Nawawiyah, karya beliau yang paling fenomenal sepanjang masa. Semasa hidupnya, dia selalu menyibukkan diri menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah kepada Allah, selalu sabar atas segala cobaan yang diberikan oleh Allah.[3] Beliau banyak menggunakan waktu untuk menulis bahkan sering tidak tidur malam untuk mengerjakan apa yang beliau cintai.[4] Sepanjang hidupnya habis dalam menulis buku dan menuntut ilmu.

Dan masih banyak lagi seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Gus Dur, Imam Thabari.
Beliau adalah salah seorang ulama yang luar biasa. Bintang yang bersinar. Beliau adalah sosok guru yang dihabiskan waktunya untuk menulis dan berdiskusi. Selalu menulis sejak pagi hingga waktu ashar.[5] Hanya berhenti untuk sholat dan sedikit makan. Selepas isya, beliau melanjutkan lagi sampai larut malam untuk menulis.

Kitabnya yang paling monumental adalah Kitab Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an atau lebih dikenal Tafsir Ath Thabari yang beliau tulis dalam 26 Jilid. Subhanallah. Beliau sebelum menulis kitab ini sudah merencanakannya dengan matang, membuat outline, mengumpulkan referensi, meneliti, dan membandingkan referensi-referensi tersebut dan kemudian mengambil riwayat yang paling shohih.[6]

Banyak sekali inspirasiku dalam menulis. Menulis kitab dengan ikhlas dan namanya tetap harum walaupun sudah mati. Ilmunya senantiasa dipelajari jutaan manusia dan seluruh umat Islam sampai akhir zaman kelak. Memang para Imam-imam yang menghasilkan karya sudah mati secara fisik, tetapi sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya dan mendapat rezeki.[7] Bisa jadi, sesungguhnya kitalah yang “mati” meski fisik kita berkeliaran kesana-kemari tetapi sesungguhnya belum menghasilkan karya apapun untuk umat, kecuali sedikit saja yang rela menghabiskan waktunya untuk menulis dan berkarya.

Semoga diriku bisa konsisten menulis karya-karya dan buku-buku yang kelak bisa bermanfaat untuk banyak orang. Amiin.