Minggu, 26 April 2020

Kontroversi Nasi Anjing


Pada hari ini masyarakat Indonesia khususnya umat muslim di Indonesia dikejutkan dengan fenomena pembagian nasi bungkus yang distempelkan simbol kepala anjing yang akhirnya menggegerkan masyarakat Indonesia. 

Mereka membagikan nasi bungkus berstempel kepala anjing tersebut kepada masyarakat yang kurang mampu yang membutuhkan, kepada fakir miskin untuk menolong mereka di tengah wabah korona ini. Akan tetapi reaksi masyarakat itu sangat beragam khususnya banyak sekali yang bereaksi keras ataupun tidak menyetujui pelabelan pelabelan nama anjing di nasi bungkus tersebut karena seperti yang kita ketahui sebagai umat Islam di Indonesia khususnya, anjing memiliki konotasi negatif dan umat muslim di Indonesia bahkan di dunia tidak boleh memakan anjing karena haram bahkan menyentuh bulunya saja, terkena air liurnya saja itu tidak diperbolehkan karena termasuk dalam najis yang sangat besar yaitu najis mughallazah sehingga banyak netizen yang menyayangkan penamaan label anjing di dalam nasi bungkus tersebut

Reaksinya pun cukup beragam. Owner-nya juga bilang seperti ini “ini kan cuman nasi anjing yang bersahabat dengan nasi kucing” tetapi harus perlu kita garis bawahi adalah budaya Indonesia adalah budaya campuran antara budaya Islam dengan budaya Nusantara itu sendiri dan konotasi kucing di Indonesia itu adalah positif, bagus tetapi konotasi anjing di masyarakat Indonesia khususnya orang beragama Islam itu negatif. 

Ownernya juga berkata bahwa penamaan nama anjing tersebut karena dari segi porsi nasi anjing jauh lebih banyak daripada nasi kucing sehingga nasi anjing itu isinya pun jauh lebih banyak lebih besar.

Tetapi di Yogyakarta sendiri nasi yang yang banyak isinya yang banyak porsinya itu disebut nasi macan bukan nasi anjing. Karena penamaan anjing tersebut itu berkonotasi negatif bukan positif.

Selain itu ownernya juga bilang bahwa anjing itu setia ia menggambarkan kesetiaan kepada Allah yang diatas, kepada pemerintah, kepada undang-undang dasar 1945, kepada Pancasila dan sebagainya akan tetapi dari segi diksi, nama hewan itu tidak diterima oleh masyarakat Indonesia yang notabenenya adalah umat muslim mayoritas dengan 90% masyarakat Indonesia itu merupakan beragama Islam dan penamaan nama anjing sendiri itu pada masyarakat Indonesia itu tidak tepat sehingga membuat reaksi negatif bahkan menyangka bahwa di dalam nasi bungkus itu berisi daging anjing walaupun sudah dikonfirmasi bahwa nasi anjing itu berisi orek tempe teri dan halal.

Selain itu di masyarakat Indonesia konotasi anjing itu memiliki dua makna yang pertama memang anjing itu sendiri yang kedua adalah ungkapan anjing dalam bentuk kekesalan

Misalnya sebagai contoh ungkapan kekesalan adalah misalnya kekasihku atau temanku seperti “anjing”. Yang di masuk “anjing” di sini itu bukanlah kesetiaan karena praktik penggunaan diksi “anjing” sendiri itu merupakan kiasan atau sarkasme yang berarti bentuk kekesalan kekasih atau teman bukan bentuk pujian walaupun menurut owner-nya bahwa anjing setia

Coba bayangkan saja jika kita memberikan “nasi sapi” kepada umat Hindu jelaslah umat Hindu pasti akan marah besar karena di dalam agama Hindu itu sendiri sapi sangat disucikan begitu juga dengan umat Islam di Indonesia yang sangat mengharamkan daging anjing walaupun penamaannya sekedar nama “anjing.”

Oleh karena itu kedepannya untuk orang yang menamai nasi bungkus ini adalah nasi anjing meskipun niatnya baik perlu kita apresiasi walaupun membuat keresahan pada masyarakat Indonesia yang sedang beribadah puasa di bulan suci Ramadan. Kedepannya pemilihan diksi yang tepat itu harus sesuai dengan budaya dan agama di indonesia yang mayoritas adalah agama Islam untuk mengurangi keresahan kegalauan kegelisahan. Mungkin penamaan nasi anjing kita bisa ganti dengan nasi berkah.